Rabu, 31 Mei 2017

Usang sungging Tanjung Batu

USANG SUNGGING DAN PUTRI PINANG MASAK

Layaknya daerah lain, daerah-daerah di dataran sumatera, khususnya di bagian selatan sarat dengan cerita rakyat. Cerita rakyat atau dikenal juga dengan istilah legenda rakyat bisa dihubungkan dengan terbentuknya suatu tempat atau bisa juga asal usul dari penduduk, adat istiadat atau budaya yang hingga sekarang diterapkan dan menjadi panutan masyarakat setempat.    
      Cerita yang sangat terkenal adalah cerita mengenai Usang Sang Sungging dan Puteri Senuro yang karena kecantikan rupanya kemudian lebih dikenal dengan Puteri Pinang Masak. Konon kabarnya dua tokoh ini sangat erat kaitannya dengan cikal bakal bidang usaha dan mata pencaharian yang ditekuni oleh penduduk lokal.
Siapa sebenarnya Usang Sang Sungging (atau oleh penduduk lokal lebih dikenal dengan sebutan Sang Sungging). Terbetiklah sebuah kisah, di Kesultanan Palembang, mengabdilah seorang pati bernama Abdul Hamid. Beliau berasal dari keturunan kerajaan dari Pulau Jawa dan menetap di Kesultanan Palembang. Beliau terkenal dengan beberapa keahliannya seperti rancang bangun, melukis, mengukir/memahat bahkan menyiapkan rencana-rencana yang akan dilakukan oleh Istana. Beliau sangat dekat dan sudah dipercaya layaknya anggota keluarga oleh Sultan.
Syahdan, pada suatu masa beliau mendapat mandat dari Sultan untuk membuat lukisan utuh permaisurinya. Mendapat tugas tersebut, Abdul Hamid menyanggupi dengan senang hati. Siang dan malam dia melukis permaisuri demi Sultan. Mendekati  tahap akhir pengerjaan lukisan tersebut Sultan mendatangi Abdul Hamid dengan maksud ingin melihat hasil lukisan yang dibuat olehnya. Sultan kelihatan senang dan menunjukkan binar muka yang puas atas lukisan yang dikerjakannya.
Pada malam berikutnya, Abdul Hamid melanjutkan pekerjaannya melukis permaisuri dengan sangat hati-hati. Dan…selesai sudah, gumannya tersenyum gembira setelah menyelesaikan lukisan tersebut. Sambil menatap hasil pekerjaannya, ia membayangkan wajah kegembiraan Sultan. Lama dia berdiam sampai dia tertidur sekejap. dan tanpa disadarinya tinta yang digunakannya menetes ke lukisan yang sudah jadi tersebut.
Keesokan harinya dengan perasaan bangga, Abdul Hamid menghadap Sultan dan menyerahkan lukisan yang dibuatnya. Alangkah terkejutnya dia, bukannya pujian yang diterima tetapi malah caci maki. Melihat lukisan tersebut, Sultan murka dan marah tanpa bisa terbendungkan. Sultan menghardik Abdul Hamid dengan pertanyaan yang penuh kecurigaan, dari mana Abdul Hamid tahu kalau di paha kiri atas (dekat kemaluan) istrinya terdapat tahi lalat sebagaimana hasil lukisan tersebut. Mendapat hardikan pertanyaan tersebut Abdul Hamid justru bingung bukan kepalang. Usut punya usut ternyata hasil tetesan tinta yang tanpa disengaja dan disadari oleh Abdul Hamid waktu dia mengantuk malam itu  jatuh tepat di paha sebelah kiri atas dari lukisan permaisuri, sehingga menyebabkan Sultan menuduh jika Abdul Hamid telah berselingkuh dengan istrinya.
Mendapat tuduhan seperti itu, Abdul Hamid berusaha menjelaskan hal yang sebenarnya. Akan tetapi, kemarahan Sultan sudah tidak bisa dielakkan lagi. Abdul Hamid pun diminta meninggalkan istana bahkan diancam akan dihukum gantung. Mendapati situasi yang tidak menguntungkan seperti itu, Abdul Hamid beserta hulu balangnya bergegas melarikan diri dengan menggunakan perahu. Tanpa arah tujuan yang jelas mereka terus menyusuri sungai menuju pedalaman demi menghindari kejaran tentara Sultan.

Berbulan-bulan mereka mengayuh perahu. Dari Sungai Ogan menyusuri sebuah lebak yang kemudian dikenal dengan nama Lebak Meranjat. Merapatlah mereka di sebuah hutan belantara seberang Tanjung Batu yang akhirnya menetap, berdiam diri, bergaul di daerah tersebut sembari mengajarkan keahliannya dalam hal bertukang, memahat, membuat perhiasan, hingga menyebarkan ajaran agama Islam serta turut serta merancang puncak Masjid Al-Falah Tanjung Batu yang sekarang masih kokoh berdiri di Kampung Tiga Tanjung Batu .
Karena keahlian dan kepandaiannya, kian hari keberadaan Abdul Hamid dan pengikutnya semakin mendapat tempat dihati penduduk. Karena berbagai keahliannya ini terutama sekali keahliannya sebagai tukang kayu dan tukang pahat, maka oleh penduduk setempat beliau diberi gelar Usang Sang Sungging (Sang Sungging).
Selang beberapa waktu beliau tinggal di seberang Tanjung Batu, terdengarlah olehnya bahwa ada seorang puteri cantik yang tinggal di hulu sungai dan menetap di sebuah dusun bernama Senuro. Mendengar kabar ini, Sang Sungging lalu mengirim utusan untuk mengadakan silaturahmi dengan Puteri tersebut. Sepulangnya dari tempat Sang Puteri, para utusannya membawa kabar baik bahwa maksud dan tujuan mereka diterima dengan baik dan tangan terbuka oleh Puteri. Utusannya juga bercerita bahwa Sang Puteri senang mengajarkan kepada penduduk setempat bagaimana cara mengerjakan kerajinan menganyam, membuat bakul dari kulit bambu dan membuat kerajinan lainnya.
Mendengar berita tersebut, Sang Sungging pun tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya dan memutuskan untuk segera bertemu Sang Puteri. Setelah kedua insan tersebut berjumpa, diketahuilah bahwa Puteri tersebut bernama Nafisah. Konon karena kecantikan rupanya dan kulitnya agak kemerah-merahan seperti buah Pinang Masak, maka oleh penduduk setempat ia dijuluki Puteri Pinang Masak. Lalu siapa dan darimanakah asal usul Puteri Senuro atau Puteri Pinang Masak?
Dari sejarahnya, Puteri Nafisah atau Puteri Senuro berasal dari daerah Banten, Jawa Barat dan sebelum sampai ke Desa Senuro bermukim di Empat Ulu Laut tepian Sungai Musi. Berita bermukimnya seorang puteri di ulu laut Palembang yang kecantikannya tiada tara serta tandingannya di seluruh kerajaan Palembang tersebar luas dikalangan anak pembesar kerajaan, serta menjadi pembicaraan hangat para pemuda di seluruh negeri, sehingga banyak yang berlomba ingin mendapatkannya. Berita ini didengar juga oleh Sultan Palembang sehingga timbullah hasrat Sultan untuk membuktikan kebenaran dari cerita tersebut dan melihat dari dekat kecantikan Sang Puteri. Jika memang benar, muncul hasratnya untuk menjadikan Sang Puteri sebagai gundik, penambah gundik yang telah ada di istana.
Sultan langsung mengutus beberapa pengawal istana untuk menjemput puteri dan membawanya ke istana. Sebelum para pengawal datang, puteri rupanya sudah lebih dulu mengetahuinya. Puteri sangat bersedih hati,  berusaha dan berikhtiar bagaimana caranya menghindari hal tersebut. Bahkan akhirnya Puteri bersumpah lebih baik mati daripada menjadi gundik Sultan. Namun puteri juga sadar bahwa untuk menghindari kekuasaan Sultan dan para pengawalnya adalah suatu upaya yang tidak mungkin.
Puteri dan keluarganya lalu mencari cara bagaimana mengelabui para pengawal istana yang hendak menjemputnya. Akhirnya munculnya tipu muslihat untuk mengelabui mereka. Sebelum para pengawal istana tiba, Puteri merebus jantung pisang. Setelah dingin, air rebusan jantung pisang itu lalu dibuat mandi oleh Puteri, akibatnya badan Puteri menjadi hitam pekat, kotor dan kelihatan menjijikankan dan kemolekannya menjadi hilang.
Ketika para Pengawal Sultan sampai dirumah Puteri Nafisah, mereka sangat terkejut dengan pemandangan ditemui. Mereka menjadi ragu apakah benar orang yang berdiri dihadapan mereka adalah Puteri Nafisah yang kecantikannya menggemparkan seluruh negeri itu. Timbul keragu-raguan di hati mereka untuk membawa Puteri, namun karena ini adalah perintah Sultan dan tidak boleh dilanggar, maka akhirnya mereka membawa juga Puteri Nafisah ke istana untuk dipersembahkan kehadapan Sultan.
Sesampai di istana mereka langsung menghadap Sultan berikut Sang Puteri. Begitu melihat sosok yang berdiri dihadapannya, Sultan bertanya kepada para pengawalnya, apakah benar yang mereka bawa ini adalah Puteri Nafisah yang terkenal kecantikannya tersebut. Dengan kalimat tercekat, para pengawal mengiyakan. Lalu Sultan mengulangi pertanyaannya, kali ini ke arah Puteri Nafisah. Mendapat pertanyaan tersebut Puteri Nafisah diam saja. Mendapatkan kondisi tersebut, murkalah Sang Sultan dan seketika itu Puteri Nafisah di usir keluar dari istana. Maka dengan bergegas Sang Puteri meninggalkan istana dan kembali kerumahnya.
Mengetahui tipu muslihatnya berhasil, Puteri dan keluarganya merasa senang tiada terkira. Seiring dengan perjalanan waktu, mereka pun kemudian hidup tenang dan terlepas dari niat Sang Sultan. Namun, kondisi ini ternyata tidak berjalan semulus yang mereka harapkan. Cerita kecantikan Sang Puteri ternyata masih tetap menjadi buah bibir di kalangan khalayak. Sultan pun penasaran dan mengutus para penyelidik istana untuk menyelidiki kabar yang berhembus tersebut. Para penyelidik bekerja secara diam-diam dan dengan sangat cermat. Setelah melakukan pengamatan beberapa lama, para penyelidik istana akhirnyamendapatkan fakta yang sebenarnya. Mereka juga mengetahui tipu muslihat Sang Puteri ketika menghadap Sultan sebelumnya.
Mendengar laporan dari para penyelidiknya, Sultan marah bukan kepalang. Diperintahkannya kembali pengawal untuk menjebut Sang Putri secara paksa. Namun sebelum para pengawal istana sampai, para pengikut setia Sang Puteri segera menyampaikan berita tersebut. Mendapati berita itu, Puteri dan keluarganya sangat terkejut dan sedih bukan kepalang. Mereka berunding, usaha apa kali ini yang harus mereka lakukan untuk menghindari niat Sang Sultan. Setelah berunding, akhirnya diputuskan satu-satunya jalan adalah melarikan diri.
Dengan persiapan seadanya, di suatu malam, bersama dengan dua orang dayang dan dua orang pengawal, berangkatlah Puteri Nafisah dengan menggunakan sebuah rejung (perahu) menuju ke uluhan Sungai Ogan. Berbulan-bulan rombongan Sang Puteri menyusuri sungai dan lebak, sesekali mereka harus menepi dan bersembunyi untuk menghindari kejaran para pengawal istana. Akhirnya sampailah mereka pada sebuah lebak yang cukup luas, yang kelak lebak itu bernama Lebak Meranjat. Di sebuah teluk yang bernama Teluk Lancang, rejung atau perahu mereka dihadapkan ke teluk tersebut, dan menyusuri sebuah sungai (payo) yang arusnya sangat deras. Lalu sampailah mereka di suatu tempat yang mereka perkirakan cukup aman dan tidak mungkin ditemukan oleh para pengawal istana.
Kedatangan seorang Puteri beserta dayang dan pengawalnya cepat tersebar di telinga penduduk sekitar. Penduduk pun beramai-ramai tinggal dan menetap bersama Sang Puteri. Untuk menghilangkan jejak, Puteri Nafisah kemudian mengganti namanya dengan sebutan Puteri Senuro. Tempat bermukim mereka berkembang menjadi sebuah dusun yang kemudian diberi nama Senuro, sesuai dengan nama Sang Puteri. Dua dayang dan dua pengawal putri ikut hidup dan menetap disana. Mereka berjanji akan menyertai dan menjaga puteri hingga akhir hayatnya.
Ditempat yang baru ini Sang Puteri menjadi buah bibir para pemuda dan anak-anak orang terpandang di sekitar wilayah tersebut. Sang Puteri juga mempunyai kepandaian dalam hal membuat anyaman. Puteri mengajarkan juga kepandaian kepada penduduk terutama kaum remaja putrinya, terutama anyaman untuk alat-alat memasak yang digunakan sehari-hari.
Puteri juga terkenal dengan keahliannya dalam membuat anyaman yang tidak tembus oleh air. Sampai akhirnya kabar kecantikan dan keahliannya ini turut di dengar oleh Sang Sungging.
Sang Sungging begitu terharu mendengarkan cerita dan pengalaman Putri Nafisah atau Puteri Senuro ini. Ternyata mereka berdua mengalami peristiwa yang serupa. Dari beberapa kali pertemuan, keduanya pun sepakat untuk menjalin tali kasih. Keduanya juga tak segan bercerita mengenai kepandaian masing-masing. Sang Sungging dalam hal bertukang, memahat, melukis dan membuat kerajinan, sementara Puteri Senuro dalam hal membuat anyam-anyaman. Sang Sungging juga mendengar jika Sang Puteri bisa membuat anyaman yang tidak tembus air.
Suatu hari Sang Sungging ingin dibuatkan masakan gulai kepada Puteri Senuro. Sang Puteri memenuhi permintaan itu. Setelah gulai masak, dibuatlah sebuah bakul dengan tudungnya untuk tempat gulai tersebut dan langsung dikirim kepada Sang Sungging. Mendapat kiriman Dari Puteri Senuro, Sang Sungging langsung membuka bakul tersebut dan alangkah herannya Sang Sungging, karena sedikitpun kua gulai itu tidak menetes keluar. Sang Sungging semakin percaya dan takjub dengan kepandaian Sang Putrti. Setelah habis gulainya dimakan lalu bakul tadi dikembalikan kepada Puteri Senuro. Sebagai balasannya Sang Sungging menyuguh (menyerut) papan dengan umbangnya (hasil suguhan kayu) hampir 9 meter tanpa terputus-putus. Umbang kayu ini kemudian dimasukkan ke dalam bakul tersebut dan dikirim kembali ke Puteri Senuro. Oleh Puteri Senuro umbang tersebut kemudian dianyam menjadi bakul. Pada perjalanannya, bakul inilah yang kemudian menjadi wadah hantaran lauk pauk dari Sang Puteri ke Sang Sungging.
Kedua sejoli itu saling berlomba menunjukkan keahlian masing-masing sembari menjaga tali percintaannya menuju hari pernikahan. Persiapan demi persiapan pun mereka gencarkan demi menjelang pelaksanaan pernikahan. Sebelum pernikahan terjadi, datang beberapa orang pengawal Puteri Senuro menemui Sang Sungging membawa pesan bahwa Sang Puteri sedang jatuh sakit. Dari hari ke hari sakitnya bertambah parah dan tidak menunjukkan kesembuhan.
Dalam kondisi sakit parah tersebut Puteri Senuro tetap memikirkan kelangsungan hidup kaumnya. Dia masih teringat dengan kisahnya dulu dan tidak mau kaumnya kelak mengalami nasib serupa. Merasa kondisinya sudah tidak bisa diharapkan lagi, sebelum meninggal Sang Puteri berdoa dan bersumpah kepada yang maha kuasa agar kelak anak cucu kaumnya tidak memiliki paras cantik seperti dirinya, karena kecantikan itu akan membawa kesengsaraan.
Setelah melafazkan sumpah tersebut akhirnya Puteri Senuro menghembuskan nafasnya yang terakhir. Puteri wafat dengan meninggalkan empat orang dayang dan dua orang pengawal yang sangat setia termasuk kekasihnya Sang Sungging. Puteri lalu dimakamkan ditempat tersebut. Bagi anak cucu kaumnya, Puteri Senuro atau Puteri Pinang Masak menjadi pelambang kaum wanita yang menjunjung tinggi martabat. Setelah Sang Puteri meninggal, dayang-dayang dan pengawalnya bertekad akan tetep berdiam di tempat itu, dan akan mati berkubur disamping kubur Sang Puteri.
Makam Sang Puteri beserta dayang dan pengawalnya juga masih bisa dijumpai di desa tersebut. Adapun terhadap sumpah Sang Puteri, Sampai saat ini sumpah tersebut masih terngiang di telinga penduduk Desa Senuro. Percaya tidak percaya, jika kita berkunjung ke desa tersebut maka kita akan menemui pemandangan seolah mencerminkan sumpah dari Sang Puteri. Apakah ini sebuah kebetulan? atau memang akibat dari sumpah Sang Puteri.
Lalu bagaimana dengan Sang Sungging sendiri. Dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa keahliannya dalam bertukang termasuk membuat ukiran yang diceritakan oleh penduduk desa dari mulut ke mulut akhirnya sampai juga di telinga Sultan. Sebelumnya, Sultan telah menyadari kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging. Setelah mendengarkan penjelasan dari Permaisurinya dan penasehat istana, Sultan berkesimpulan bahwa tetesan tinta yang membentuk tahi lalat di paha kiri atas pada lukisan istrinya murni akibat ketidaksengajaan Sang Sungging.
Sebagai wujud dari penyesalannya dan sekaligus untuk membuktikan cerita orang tentang keahlian Sang Sungging, Sultan mengirimkan utusannya. Melalui utusannya ini Sultan menyampaikan kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging dan juga memesan daun pintu berukir. Singkat cerita, daun pintu tersebut dapat diselesaikan oleh Sang Sungging persis seperti yang dikehendaki oleh Sultan. Dari situ Sultan akhirnya benar-benar percaya dengan berita tersebut.
Lalu Sultan mengirimkan utusannya kembali, kali ini dalam misi mengajak Sang Sungging untuk kembali ke Istana. Namun karena Sang Sungging merasa sudah betah dan telah memiliki ikatan emosional dengan peduduk setempat, ajakan Sultan tersebut ia tolak dengan penjelasan dan alasan yang halus. Ia tetap pada pendiriannya untuk tinggal dan membangun bersama penduduk setempat sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, Sang Sungging akhirnya dimakamkan di sekitar desa pelariannya.
Sebagaimana disinggung diatas, dari kedua tokoh ini sangat diyakini memiliki hubungan erat dengan terbentuknya pola mata pencaharian penduduk lokal. Usang Sungging, dengan keahliannya sebagai tukang kayu dan pembuat kerajinan dari tangan telah mewariskan bidang usaha pertukangan/pembuatan rumah panggung (yang sekarang dikenal dengan rumah knock down) dan kerajinan tangan seperti perhiasan pengantin (dari kuningan), pandai besi (pembuatan golok dan pisau dari besi), dan pembuatan perhiasan dari emas dan perak. Sementara Puteri Pinang Masak mewariskan bidang usaha anyam-anyaman yang hingga sekarang ditekuni oleh masyarakat setempat.


Sejarah penyebaran Islam di Tanjung Atap


Latar belakang

     Dalam  sejarah pengembangan Islam pertama kali di pulau Jawa, tersebutlah sembilan orang Ulama Islam yang dimasyhurkan dengan Wali Songo (Wali Sembilan). Di antara Wali Songo tercatatlah nama Fatahillah (1502-1570), yang disebut Falatehan oleh orang Portugis dan menurut sejarah namanya sangat panjang yaitu Syekh Nurudin Ibrahim Ibnu Maulana Israail, Syarief Hidayatullah, Said Kamil, Maulana Syekh Machdum Rahmatullah, Abdurrahman Tadjuddin gelar Ratu Sinuhun Susuhunan Gunung Jati Cirebon, yang sesudah meninggal dimakamkan di Gunung Jati dekat kota Cirebon populer dengan nama Sunan Gunung Jati.
            Istri Fatahillah adalah putri Raden Fatah, sedangkan putra-putra Raden Fatah yang lain adalah Depati Unus, Pangeran Sedo Lepen dan Raden Trenggono. Fatahillah mempunyai enam anak, yaitu tertua adalah Tuan Umar Baginda Saleh, kemudaian Maulana Hasanuddin Banten, tiga lainnya berada di daerah Jawa Barat, yang bungsu adalah Pangeran Pasarean yang menikah dengan putri Raden Trenggono Sultan Demak.
            Oleh karena Pangeran Pasarean telah meninggal lebih dahulu, maka Fatahillah menyerahkan kekuasaan Cirebon kepada Panembahan Ratu, putra dari cucunya yang bernama Pangeran Sawarga atau Depati Cirebon, anak dari Pangeran Pasarean dan dari keturunan Panembahan Ratu inilah, menurunkan keturunan Sultan Kasepuhan Cirebon.
            Tuan Umar Baginda Saleh atau R. Amar sejak kecilnya terdidik dalam lingkungan Islam dan beliau meninggalkan Cirebon pergi ke Pasai Aceh (tempat kelahiran ayahnya, Fatahillah) untuk meneruskan pelajarannya dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan di sana beliau bertemu dua orang temannya, yaitu Tuan Tanjung Darussalam dan Tuan Dipulau (Said Hamimmul Hamiem).
            Setelah menyelesaikan pelajarannya, berangkatlah mereka bertiga ke dari Pasai menuju Palembang-Sumatera Selatan melalui Selat Malaka, Selat Berhala, Laut Cina Selatan, Selat Bangka, Laut Jawa, Sungai Mesuji, Sungai Babatan dan Sungai Komering.

Komering
            Penduduk dari Skala Borak (Sikala= Paisi, sebangsa buah kecil berwarna hitam yang manis rasanya; Borak= Lamon, banyak; karena di daerah itu banyak buah Paisi) di Bukit Pesagi dekat gunung Sminung dan Danau Ranau, pindah ke dua jurusan yaitu ke arah kiri dan ke arah kanan.
            Daerah kiri bernama Komering Nyapah dan daerah Komering kanan bernama Komering Darat yang akhirnya masing-masing penduduk di daerah itu bernama Komering dan Lampung. Di antara mereka itu ada yang bertempat tinggal di sekitar sungai Matjak sebelah Barat di antara Komering dan Lampung di dekat Rasuan, kemudian mereka pindah ke Hilir dusun Rasuan yang akhirnya berkembang menjadi dusun Mendayun, Kotanegara, Surabaya dan Nikan.
            Asal nama Mendayun pada mulanya adalah Madang dan Ju, ini terjadi di mana si Pahit Lidah, di mana penduduk Abung Kota Bumi Lampung Utara yang datang ke sana bertanya: numpang nanyo paipun: Api yoda sija tiuh Madang? Pengawal sempat sambil membengkokkan telunjuknya menjawab: Yu (iya); dan dari Madangju menjadi Madayun kemudian menjadi Mandayun dan akhirnya Mendayun.
            Pindahnya Mendayun dari hilir Rasuan ke tempat sekarang ini, dimulai oleh Tuan Penghulu-II (dengan adiknya Tuan Lebai), yang hanya terdiri dari 21 buah rumah, kemudian bertambah dengan datangnya penduduk dari Darat Mesir Ilir Pakuan Ratu, Way Kanan Lampung Utara, dari Ogan Ulu Baturaja dan dari daerah-daerah lain.
            Minanga, Cempaka, Gunung Batu pun pada mulanya berasal dari Rasuan Madang, namun akhirnya menjadi Madang Semendawai. Komering Ulu di zaman dahulu terdiri dari Madang dan Unggak, di mana Pasirah Marga Madang berkedudukan di Rasuan dan Cempaka, sedangkan Pasirah Marga Madang Unggak berkedudukan di Pulau Negara dan Negeri Ratu Tulang Bawang.
            Akhirnya Marga Madang Semendawai menjadi Marga Madang Semendawai Suku Satu, Marga Madang Semendawai Suku Dua, Marga Semendawai Suku Tiga; sedangkan Marga Madang menjadi Marga Madang Suku Satu dan Marga Madang Suku Dua.

Perjuangan Tuan Umar Baginda Sari/saleh menyebarkan islam

Komering Ulu
            TuanUmur Baginda Saleh di dusun Mendayun, Marga Madang Suku Satu (beliau mulai dakwah lebih kurang tahun 1575 M – 1600 M, yang di kala itu letaknya di sebelah hilir dusun Rasuan; Tuan Tanjung Darussalam di dusun Adumanis marga Semendawai Suku Tiga; Tuan Dipulau (Said Hamimul Hamiem) di dusun Negara Sakti, Marga Semendawai Suku Dua.
            Atas usaha ketiga Tuan itu sebagai Ulama pembawa agama Islam, diadakan mula-mula tempat-tempat khusus untuk mengajarkan Al-Quran kepada seluruh penduduk, kemudian diberikan pelajaran dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Fakta sejarah sampai sekarang masih ada di tangan zuriat/ keturunan masing-masing,seperti tongkat untuk naik ke mimbar, sorban, jubah sejadah, keris dan peninggalan-peninggalan lainnya.
            Data dari Pasai di bidang kebudayaan terdapat di dusun Mendayun tempat Tuan Umar Baginda Saleh, di sana ada sebuah pulau bernama Pulau Negeri Pasai dan tiap masa ada orang yang diberi gelar (bila ia sudah beristri); Raden Pasai, Menteri Pasai, Dalom Pasai, Pendeta Pasai dan Alim Pasai.
            Tuan Umar Baginda Saleh secara tekun dan ikhlas mendidik murid-muridnya yang datang dari berbagai daerah di pengajian (tempat mengaji= tempat beliau mengajar) dan disinilah letak Mendayun pada mulanya. Tempat ini dianggap keramat karena amat pentingnya dalam sejarah, yang akhirnya dibuat oranglah Makam Keramat Pengajian sebagai tugu penghormatan atas jasa Tuan Umar Baginda Saleh.
            Berkat usaha-usaha beliau bertiga itu banyaklah menghasilkan Alim Ulama di daerah Komering Ulu, yang kaliber kecil, sedang dan besar, dari dahulu sampai sekarang; kepada ketiga beliau ini semua lapisan muslimin di daerah di daerah sungai Komering Ulu dan Komering Ilir sangat dikenal sebagai Waliullah pembawa agama Islam.
            Keturunan mereka sampai saat ini selalu memimpin umat Islam dalam perjuangan mereka dan di setiap generasi keturunan selalu mempunyai ilmu-ilmu agama Islam (yakni banyak yang menjadi Ulama/ Kyai) antara lain ialah Ki H. Imam Umary ( Muhammad Amin Dja’far) dan Putera beliau bernama Ki Abdullah Umary gelar Ratu Penghulu Mendayun dari keturunan Tuan Umar Baginda Saleh yang masing-masing dari generasi ke  sebelas dan kedua belas.
            Tuan Umar Baginda Saleh sebagai pembawa, pengajar, penganjur Islam, selain mendidik murid-muridnya yang datang dari berbagai daerah, secara aktif pula mendidik dan membentuk kader-kader muda yang militan yang akan melanjutkan perkembangan dakwah Islam sesudahnya.
            Menurut garis keturunan pihak laki-laki, Tuan Umar Baginda Saleh di Mendayun meninggalkan seorang putra (seterusnya ke bawah, tanpa disebut keturunan atau anak cucu perempuan) yaitu Raja Montik- Kyai Djaruan- Tuan Penghulu I- Tuan Kudrat – Tuan Ketip Kulipah  I – Tuan Kelip Kulipah II yang mempunyai dua orang putera, yang tua adalah Tuan Penghulu II dan yang muda adalah Tuan Lebai (Kyai Lebai Djamal) dan di masa kedua bersaudara inilah dusun Mendayun pindah dari hilir dusun Rasuan (lima kilometer ke arah Selatan) ke tempat Mendayun sekarang ini.

Penyebaran Islam Tanjung Atap
            Setelah Islam berakar di daerah Marga Madang Suku Satu, dan di Komering Ulu dan Ogan Ulu pada umumnya, Tuan Umar Baginda Saleh pindah ke Ogan Komering Ilir dengan melalui Sungai Komering (Tanjung Lubuk ), Sungai Ogan (Tanjung Raja), Talang Balai , Lintang dan akhirnya menetap di Tanjung Atap.
            Di masa itu daerah tersebut terdiri dari :
1.      Meranjat (Kubu Lintang);
2.      Tanjung Pinang (Kubu Paya Kerbau);
3.      Tanjung Atap  (Kubu Paya Buluh)
4.      Tanjung Batu (Kubu Paya Lintah).
Penduduk di sana masih dalam keadaan primitif dan menganut kepercayaan animisme  dan dinamisme.
     Tujuan perpindahan beliau untuk Islamisasi daerah Dataran Penesak (sekarang meliputi Kecamatan Tanjung Batu yang terdiri dari Marga Tanjung Batu – Marga Burai – Marga Meranjat), daerah Kelekar, daerah Batanghari Kelekar hingga ke Indralaya pun termasuk areal dakwahnya yaitu Rantau Alai, Lubuk Keliat, Ketiau dan daerah Prabumulih.
     Daerah-daerah yang dilalui beliau dalam perjalanan perpindahannya, beliau tetap menggunakan kesempatan untuk bertabligh menyampaikan seruan Islam di sana.
     Dalam daerah dakwahnya yang baru ini, beliau dikenal dengan nama Said Umar Baginda Sari dan dalam menanamkan benih Islam di daerah ini, beliau didampingi oleh beberapa pembantunya, antara lain;
1)      Tuan Raja Setan;
2)      Tuan Teraja Nyawa
3)      Said Makdum
4)      Matoro Sungging
5)      Rio Kenten Bakau
6)      Usang Pulau Karam
7)      Usang Puno Rajo
8)      Kaharuddin Usang Lebih Baru Ketiau
9)      Usang Dukun
Said Umar Baginda Sari buat daerah ini adalah pembawa Islam pertama, yang di dalam perjuangan seringkali menghadapi perlawanan dari penduduk yang masih dalam keadaan primitif dan menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dengan bijaksana, teliti , sabar dan ulet, pada akhirya penduduk di daerah  ini menganut agama Islam dan mendapat kemajuan di bidang kebudayaan, berkat usahanya yang terus menerus.
Dari keturunan anak perempuan beliau serta keturunan dari para pembantunya, di daerah ini sejak zaman yang lampau sampai sekarang, banyak sekali Alim Ulama dan madrasah-madrasah yang timbul dan hidup dengan majunya.
Akhirnya, setelah menunaikan tugasnya sejak akhir abad ke-16 M, sebagai pembawa, penyebar dan pahlawan Islam, Said Umar Baginda Sari gelar Ratu Penembahan meninggal dunia dan dimakamkan di sebuah pulau di seberang dusun Tanjung Atap, yang termasyhur dengan nama Pulau Said Umar Baginda Sari.

Abad Ke-16 M ( 1550-1600 M)
 Agama Islam mulai masuk dan disiarkan didaerah Marga Madang Suku Satu oleh Tuan Umar Baginda Saleh ( 1575-1600 M) yang bertempat tinggal di dusun Mendayun. Sesudah itu beliau menyiarkan agama Islam di daerah Tanjung Atap Ogan Komering Ilir sejak tahun 1600 M hingga wafat.
Di daerah Marga Semendawai Suku Tiga, penyiar agama Islam adalah Tuan Tanjung Daarus (Idrus) Salam atau Sayid Ahmad, dengan mengambil tempat kedudukan di dusun Adumanis.
Penyiaran agama Islam di daerah Semendawai Suku Dua  dan Marga Semendawai Suku Satu tahun 1600 M dilakukan oleh Tuan Dipulau atau Sayyid Hamimmul Hamim, dengan mengambil tempat di dusun Negara Sakti. Khusus daerah Cempaka penyiaran agama Islam dilakukan oleh Khotib Jamal bin Ngabihi Abdul Manan yang berasal dari Jawa. Khusus untuk Semendawai Suku Satu dilakukan oleh Pangeran Mas yang berasal dari Demak.
Di Marga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Moyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Daarus (Idrus) Salam.
Pembawa dan Penyiar Islam agama Islam di Marga Ranau adalah:
1.      Umpu Sijadi Holau, berasal dari Sikala Borak Batu Borak daerah Bukit Pesagi.
2.      Umpu di Padang, berasal dari Pagaruyung Sumatera Barat. Sejak tahun 1600 M agama Islam makin berkembang dengan lancar di daerah Marga Ranau oleh Mubaligh dari Komering, antara lain oleh Tuan Dipulau atau Sayyid Hamimul Hami, juga oleh Tuan Syekh Muhammad Saman dari Palembang.

Abad ke- 17 M ( 1601- 1700 dan seterusnya)

            Antara tahun 1601- 1800 M perkembangan Islam di daerah Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ilir berjalan terus dengan datangnya para Ulama ke daerah-daerah yang belum menganut Islam.
            Pada tahun 1656 M, datanglah H. Juana dari Banten mendirikan pesantren untuk menyebarkan Islam di daerah Marga Madang Suku Dua.
            Pada tahun 1750 M, di dusun Muncak Kabau datang Ulama dari Palembang bernama Kemas Jambi dan dari Semarang bernama Marto mengajarkan agama Islam di daerah Marga Buay Pemuka Bangsa Raja.
            Pada tahun 1800 M, daerah Marga Buay Pemuka Peliung didatangi mubaligh dari Kerinci Jambi bernama Khotib menyebarkan agama Islam.
            Pada Tahun 1850, di daerah Martapura Marga Paku Sengkunyit dan sekitarnya, Islam mulai disiarkan oleh H. Jamaludin berasal dari Martapura Kalimantan Selatan dan dilanjutkan oleh putranya bernama Penghulu Umar.
            Antara tahun 1900—1918 M, Islam mulai masuk ke daerah Marga-marga Kisam, Balayan, Tenang dan sekitarnya.
         
Sumber;  H. Barnawy Umary dalam ‘’ Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan’’, Pada Tanggal 27 November 1984 di Palembang.


Daftar Rujukan;
·         Buchori, S. Ibrahim, Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia (Jakarta: Publicita, 1971).
·         Yacub, Ismail, Sejarah Islam Indonesia
·         Panitia Penyelenggara MTQ Pertamina-II Plaju, Masuk dan Perkembangan Islam di Bumi Sriwijaya (Pertamina Plaju, 1974).
·         Saiyed Alwi bin Taher Al-Hadad, Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Dzija Shahab al-Maktab Addaini, 1957).
·         Salim, H. Agus, Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia (Jakarta: Tinta Mas, 1962).
·         Seminar Masuknya Agama Islam di Indonesia, Masuknya Agama Islam di Indonesia (Medan: MUI Sumatera Utara, 1963).

Folklor sejarah Tanjung Atap

Sejarah awal mulanya terbentuk sebuah desa yang kemudian dinamakan Tanjung Atap ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Buat yang butuh sebagai bahan skripsi atau tugas akhir kuliah dan sekolah silahkan diunggah, buat yang pengen tahu silakan dibaca, semoga dapat meningkatkan rasa cinta terhadap desa kita dan tetap menjaga apa yang telah dianugerahkan Allah kepada desa kita yang tercinta ini.
selamat membaca.....!!!
Kutipan Sejarah Lahirnya Desa Tanjung Atap ini berasal dari skripsi : Drs. Nukman Arsjadi  yang memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah. Palembang.


Pada abad XVI atau tepatnya tahun 1575 M, merapatlah sebuah  rejung1 di suatu daratan. Dari dalamnya turun suatu rombongan yang erasal dari Kerajaan Banten, Jawa Barat. Rombongan terdiri dari enam orang yang dipimpin oleh Said Umar Baginda Sari, salah seorang putera Sunan Gunung Jati.
              Gugusan tanah tempat mereka mendarat terdiri dari hutan belantara yang dikelilingi oleh air yang  mirip sebuah pulau yang akhirnya dinamakan Pulau Karam2. Mereka merasa betah tinggal di sana, karena selain aman, dari pulau ini mereka akan cepat mengetahui andainya adnya serangan musuh.
            Suatu hari, tatkala Said Umar Baginda Sari memandang ke arah barat, pandangan beliau tertuju pada segugusan tanah yang menjukur ke air. Setelah diamati ternyata gugusan tanah tersebut adalah sebuah tanjungan, yang mana dari kejauhan terlihat sebuah bangunan pondok yang beratap. Ketika beliau mendatangi tanjungan ini, pondok yang beratap tersebut ternyata sebuah bangunan yang mengatapi dua buah kuburan. Sejak saat itu beliau dan rombongan sepakat untuk menetap di tanjungan tersebut yang kemudian beliau namakan Tanjung Atap.
            Selai itu Said Umar Baginda Sari memerintahkan anak buahnya menelusuri daerah sekitar Tanjung Atap untuk mencari kalau-kalu terdapat pemukiman penduduk. Di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Paya Buluh, Rawang, ditemuanlah sebuah pemukiman penduduk yang disebut Kubu Selebar Tapak. Akhirnya atas ajakan beliau pemukiaman Paya Buluh, Rawang ini ditinggalkan dan seluruh penduduk mengungsi ke Tanjung Atap.
            Beberapa hari kemudian Said Umar Baginda Sari mendapatkan informasi bahwa di arah barat dari Tanjung Atap terdapat pemukiman penduduk yang disebut Kubu Paya Lintah. Beliau lalu mengutus anak buahnya yang bernama Said Makdum utuk mendatangi tempat tersebut. Di sini Said Makdum mendapat sambutan yang sangat baik, sampai-sampai seorang Puteri dari Kubu Paya Lintah yang bernama Laya dinikahkan dengan beliau.
            Pada waktu itu, daerah Kubu Paya Lintah ini tidak aman. Penduduk sering diganggu oleh sindai3 dan binatang buas lainnya, sehingga Said Makdum mengajak mereka untuk pindah dari tempat tersebut. Akhirnya mereka sepakat untuk mengungsi ke sebuah tanjungan yang merupakan sambungan dari Tanjung Atap. Karena di tempat tersebut banyak terdapat batu merah, sehingga tempat tersebut dinamakan beliau Tanjung Batu.
            Dalam kegiatan sehari-hari, disamping mengajarkan gama Islam, Said Umar Baginda Sari juga berdagang. Selanjutnya dari sini agama Islam menyebar ke daerah-daerah lain. Akhirnya setelah menunaikan tugasnya sejak akhir abad ke-enam belas Masehi. Sebagai pembawa, penyebar dan pahlawan Islam, Said Umar Baginda Sari beliau diberi gelar Ratu Penembahan dan meninggal dunia serta dimakamkan di sebuah pulau di seberang dusun Tanjung Atap.

catatan:
1.   Rejung adalah sejenis perahu layar yang digunakan sebagai alat angkutan
2.   Pulau Karam termasuk wilayah Tanjung Atap, berada di seberang desa
3.   Sindai adalah sejenis siluman yang suka mengganggu manusia

Kyai Bahri bin Pandak Tanjung Atap

Ki Bahri bin Pandak Tg. Atap



Bagi orang Indonesia umumnya dan Palembang khususnya pasti tau dengan seorang Kiyai lagi salah satu dari Waliyyulah yang bermagom ( berkedudukan ) Quthb, ialah yang bernama KH. Bahri bin Pandak seorang Ulama’ yang sangat tawadhu’ dan waro’ lagi kasyaf zhohir dan bathin, beliau tinggal di daerah Tanjung Atap kabupten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Beliau sangat masyhur dengan kekeramatannya yang nyata terhadap mereka yang berhadapan langsung dengan beliau, sehingga orang-orang beramai-ramai mendatangi beliau agar mendapatkan berkah. adapun berbagai keramat beliau adalah sebagai berikut:



Pada suatu hari pernah datang beberapa orang tamu, lalu mereka langsung saja masuk ke musholla dan ketika sampai dilihat mereka Kiyai sedang tidak ada lalu mereka bertanya kemana Kiyai Bahri lalu penjaga musholla bilang Kiyai sedang mencangkul disawah. ketika itu juga salah seorang dari tamu tersebut langsung mengambil perahu dan menyusul ketempat Kiyai berladang, ketika sampai orang tersebut mengucap salam dan dibalas Kiyai akan salamnya lalu tamu tersebut mengutarakan bahwa ada tamu yang mau bertemu dengan Kiyai lalu Kiyai menjawab kamu duluan aja entar saya nyusul tapi dilihat oleh tamu tersebut tidak ada perahu buat kiyai pulang nanti tetapi Kiyai masih menyuruh tamu tersebut pulang duluan, maka tamu tersebut pulang duluan. Dan ketika tamu tersebut sampai ke Musholla tiba-tiba Kiyai sudah duduk sambil menulis sebuah wirid, maka terheran tamu yang menyusul Kiyai tadi. didalam hatinya dia berkata: bagaimana Kiyai bisa pulang mendahului saya sedangkan tidak ada perahu buat kiyai pulang dan jalannya pun sama yakni tidak ada jalan pintas buat pulang. Lalu Kiyai memandang wajah tamu tersebut sambil tersenyum.



Pada suatu malam ketika beliau ( kiyai Bahri ) sedang mengajar tiba-tiba lampu padam, lalu salah seorang muridnya hendak menghidupkan jenset buat penerangan tetapi Kiyai malah menyuruhnya tetap duduk dan tidak usah menghidupkan jenset lalu Kiyai berkata: coba kalian sama-sama menghitung dari satu sampai tiga insya Allah lampu akan hidup lagi, lalu mereka sama-sama menghitung dengan hati yang heran 1, 2, 3 maka lampu kembali hidup dan semua orang terheran-heran



Suatu malam ketika jam sudah menunjukan pukul 11.00 WIB. ada salah seorang tamunya hendak pulang kerumahnya tetapi hari sudah larut malam dan tidak ada lagi mobil yang menuju Palembang kalau sudah larut malam, tetapi dia masih ingin pulang lantas ia mengutarakan kepada Kiyai bahwa ia ingin pulang terus Kiyai memperbolehkannya pulang dan menyuruhnya lewat jalan situ sambil menunjukan jalannya tapi Kiyai berpesan kepada tamu tersebut untuk jangan menoleh kekanan dan kekiri serta ngomong ketika jalan.lantas tamu tersebut menuruti perintah Kiyai, lalu dia pun pamit terus pulang. Ketika sampai dirumah dia merasa aneh waktu dia melihat jam baru menunjukan pukul 11.30 WIB padahal jarak antara Kota Palembang dengan Tanjung Atap itu memerlukan waktu 2 jam atau secepatnya 1,5 jam.lalu esok harinya dia ingin melihat tempat yang dilaluinya semalam ternyata tempat tersebut adalah rawa-rawa yang sangat luas. Dia pun merasa takjub dengan keramat Kiyai Bahri bin Pandak